RADIKAL BEBAS, ANTI OKSIDAN DAN
STRES OKSIDATIF PADA SEL
By: Hartati Eko Wardani
Belakangan ini marak dibicarakan di media
massa tentang bahaya radikal bebas terhadap kesehatan tubuh dan bagaimana
substansi kimia yang bernama antioksidan digunakan untuk menangkal dampak negatif
radikal bebas ini. Terkait dengan dunia olahraga, zat ini juga dianggap sebagai
penyebab rusaknya sel-sel seperti otot dan jantung, jika tubuh terekspose oleh
latihan yang berat. Tingginya radikal
bebas yang tidak diimbangi oleh peningkatan antioksidan akan menimbulkan stres
pada sel yang disebut dengan stres oksidatif.
Tak hanya yang
terpapar latihan berat, sel tubuh yang untrained
pun tak lepas dari ancaman stres.
Beberapa fakta di
lapangan yang bisa diamati, orang yang sama sekali tidak beraktivitas karena
harus tirah baring atau dalam kondisi ekstrim mengalami paralisis /kelumpuhan,
mempunyai ukuran otot yang mengecil,
atau mengalami atrofi otot. Fenomena apa yang terjadi secara mikroskopis pada
sel otot itu? Mengapa otot yang tidak pernah digunakan untuk kontraksi mengecil
dari segi ukuran dan massa? Ternyata, hasil penelitian membuktikan bahwa sel
otot tersebut mengalami degenerasi protein otot dan kematian inti sel (nuclear apoptosis) yang disebabkan
karena serangan radikal bebas! Jadi tidak pandang sel tersebut mendapat efek
latihan atau justru sama sekali inaktif, sel tetap akan terekspose oleh radikal
bebas, namun tentunya melalui jalur yang berbeda. Lalu mana yang lebih baik untuk dilakukan,
menjadi aktif atau inaktif?
Hal ini tentunya menarik untuk
dijadikan bahan diskusi, namun sebelum melangkah kesana ada baiknya kita mengetahui
terlebih dahulu tentang konsep radikal bebas, anti oksidan dan stres oksidatif.
Dan kali ini saya akan mencoba berbagi kepada mahasiswa, dosen, dan teman-teman
lain sedikit dari apa yang saya ketahui tentang hal tersebut. Penulis mencoba
mengambil intisari dari artikel review yang berjudul : Exercise-Induced
Oxidative Stress: Cellular Mechanisms
and Impact on Muscle Force Production oleh Scott K. Powers dan Malcolm J. Jackson
yang ditulis dalam jurnal Physiol Rev 88: 1243–1276 tahun 2008, serta dari
beberapa sumber pustaka lain.
Radikal bebas
Radikal bebas
adalah suatu molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada orbital
terluarnya. Karena elektron terluar tidak berpasangan maka molekul radikal
bebas bersifat tidak stabil dan selalu berusaha untuk mencari pasangan dengan
cara bereaksi dengan molekul lain di sekitarnya. Istilah radikal bebas kadang
rancu dengan istilah ROS atau RNS. ROS atau reactive
oxygen species adalah senyawa turunan oksigen yang bersifat reaktif, atau
bisa bereaksi dengan molekul lain. Molekul ini bisa bersifat destruktif bisa
pula berguna untuk berbagai proses metabolisme dalam tubuh seperti signaling cell. Identik dengan ROS, RNS
juga merupakan senyawa yang reaktif namun berasal dari nitrogen. Kadang
keduanya secara kolektif disingkat menjadi RONS (reactive oxygen-nitrogen species). RONS bisa terdiri dari radikal
bebas bisa juga non radikal bebas dalam artian molekul ini tidak memiliki
elektron yang tidak berpasangan, namun tetap reaktif karena berpotensi
menghasilkan radikal bebas jika bereaksi dengan molekul lain. Berikut ini
sedikit ulasan tentang macam RONS yang banyak diteliti.
-
Radikal bebas yang bersifat intermediate,
bermuatan negatif, relatif impermeabel (tidak mudah menembus membran sel)
-
Akan berdismutasi menjadi hydrogen peroksida
dan selanjutnya menjadi radikal hidroksil jika ada logam transisi
-
Penting untuk membunuh mikroorganisme yang
masuk sel
-
Relatif kurang reaktif dibandingkan radikal
lain
-
Bereaksi dengan NO dan protein yang mengandung
besi dan sulfur
-
Dapat mereduksi cytochrome c dan oksidasi
ascorbate
-
Bukan jenis radikal bebas, relatif stabil,
permeabel
-
Waktu paruh relatif lama, bersifat toksik
karena bisa membentuk radikal hidroksil melalui reaksi Fenton atau Haber Weiss
-
Tidak bisa mengoksidasi DNA atau lipid, namun
bisa menginaktivasi beberapa enzim
-
Radikal kuat, impermeabel
-
The most damaging
ROS!!`
-
Bukan radikal, bisa berasal dari proses
dismutasi superoksida
-
waktu
paruh sangat pendek, bisa berdifusi keluar membran
-
Berasal dari asam amino L-arginin, dengan
perantaraan enzim Nitric Oxide Synthase (NOS)
-
Bereaksi cepat dengan superoksida membentuk
peroksinitrit
-
Salah satu fungsinya adalah mengikat besi pada
heme à iron
removal/inactivation
-
Merupakan hasil reaksi antara NO dengan superoksida.
Reaksi ini berlangsung 3 kali lebih cepat daripada dismutase superoksida maupun
reaksi NO dengan besi heme.
-
Damaging effect : DNA damage,
nitrasi protein, deplesi thiol.
-
Dibentuk oleh aksi mieloperoksidase dengan
hydrogen perosida dan Cl- sebagai substrat.
-
Dominan dibentuk di neutrofil, bisa merusak
biomolekul dengan mengoksidasi thiol, lipid, ascorbat.
Sistem Pertahanan Antioksidan
Meskipun
radikal bebas senantiasa diproduksi dalam keadaan normal, inaktif, maupun
latihan, namun tubuh mempunyai sistem untuk menangkal efek negatif yang ditimbulkan radikal bebas, yaitu Sistem
Pertahanan Antioksidan.
Beberapa
mekanisme Sistem Pertahanan Antioksidan dalam mengatur senyawa reaktif adalah :
1.
Mengubah senyawa reaktif menjadi
bentuk yang kurang reaktif
2.
Mencegah senyawa reaktif menjadi
senyawa yang lebih reaktif
3.
Mengurangi availability pro-oksidan
seperti besi dan copper melalui protein pengikat logam
4.
Scavenging
ROS
5.
Recycling
antioksidan
Sistem
Pertahanan Antioksidan terdiri atas dua macam, yaitu :
1.
Berbentuk enzim (enzymatic antioxidant)
a.
SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) : mendismutasi superoksida menjadi hydrogen peroksida dan oksigen.
b.
Glutathione peroksidase (GPX) : mengkatalisa reduksi hydrogen peroksida atau hidroperoksida
dengan menggunakan glutathione tereduksi (GSH)
, menjadi air dan GSSH (glutathione disulfide). GSSG akan
direduksi kembali menjadi GSH dengan bantuan glutathione reductase dan NADPH.
c.
Catalase (CAT) : mengkatalisa pemecahan
hydrogen peroksida menjadi air
dan oksigen
d.
Thioredoksin (TRX) dan thioredoksin
reduktase : satu set antioxidant system. TRX berfungsi untuk menjaga protein-protein pada keadaan tereduksi. TRX yang teroksidasi akan
diubah kembali menjadi TRX oleh thioredoksin reduktase
e.
Glutaredoksin (GRX): proteksi dan memperbaiki protein dan thiol non protein selama
masa stres oksidatif.
f.
Peroksiredoksin (PRX) : mereduksi hidroksiperoksida dan peroksinitrat
dengan menggunakan elektron yang dibawa oleh thiol fisiologis seperti TRX.
2.
Bukan enzim (nonenzymatic
antioxidant)
a. GSH
Glutathione adalah suatu tripeptida, thiol non
protein yang paling banyak ditemukan di
sel. Diproduksi terutama di liver dan ditranspor ke jaringan-jaringan melalui
sirkulasi darah. GSH mampu bereaksi langsung dengan banyak macam radikal dengan
mendonorkan atom hidrogennya. GSH juga mereduksi antioksidan lain, seperti
vitamin E dan C, sehingga dapat memelihara vitamin tersebut dalam kondisi
tereduksi .
b.
Alpha lipoic acid (α-lipoic acid): berperan
dalam recycling vitamin C
c.
Asam urat : merupakan by-product
dari metabolisme purin. Merupakan powerful scavenger untuk radikal peroksil,
hidroksil, dan singlet oksigen. Asam urat juga dapat mendonorkan elektron pada
molekul lain, juga chelating ion
metal seperti besi dan tembaga, mencegah mereka membentuk radikal hidroksil
melalui reaksi Fenton.
d.
Bilirubin : produk akhir dari
katabolisme protein heme. Heme oksigenase memecah cincin heme utk membentuk
biliverdin, biliverdin kemudian tereduksi oleh bilverdin reductase membentuk
bilirubin. Bilirubin punya potensi
sebagai antioksidan kuat melawan radikal peroksil dan memproteksi sel dari kerusakan
akibat hydrogen peroksida.
e. Ubiquinone (coenzyme Q10)
Disintesis di sel, penting untuk transport
elektron di mitokondria, terdapat di membran sel. In vitro, ubiquinone berperan utk scavenging radikal RO2-
dan mencegah lipid peroksidasi.
f.
Antioksidan dari Makanan
· Vitamin
E (α-tocopherol)
· Vitamin
C : scavenging radikal superoksida,
hidroksil, dan lipid hidroksiperoksida; recycling vitamin E.
· Karotenoid
(beta karoten): terletak di membran jaringan, berperan dalam scavenging superoksida dan radikal
peroksil, mencegah lipid peroksidasi.
STRES OKSIDATIF
Stres oksidatif didefinisikan
sebagai gangguan keseimbangan “pro dan antioksidan” , dimana efek pro-oksidan
lebih tinggi dari antioksidan. Beberapa parameter yang digunakan untuk mengukur
stres oksidatif :
1.
Peningkatan pembentukan radikal
atau oksidan lain
Ini sulit
dilakukan mengingat waktu paruh radikal sangat singkat. Molekul eksogen seperti
fluorescent probe atau spin traps sering digunakan, yang bisa
bersifat toksik bagi sel. Ini bukan merupakan petanda definitif, karena peningkatan
jumlah radikal/oksidan tidak selalu mencerminkan kondisi pro-oksidan.
2.
Penurunan jumlah antioksidan
Pemeriksaan ini
sering digunakan sebagai biomarker stres oksidatif sel. Kelemahannya adalah
banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi kondisi level antioksidan sel,
seperti metabolisme selular dan diet. Disamping itu selama proses sampling bisa
terjadi auto-oksidasi antioxidant sehingga jumlahnya menurun.
3.
Gangguan keseimbangan redox seluler
Yang paling banyak
diukur adalah rasio GSH – GSSH . Jika jumlah oksidan meningkat rasio GSH-GSSH menurun.
Pengukuran relatif simpel, namun bisa juga terjadi artefak yg disebabkan karena
sample processing atau autooksidasi.
4.
Kerusakan oksidatif pada komponen
seluler
Pengukuran karbonil protein
(indikator oksidasi protein), isoprostane, malondialdehida, 4-hidroksil
2-nonenol (indikator lipid peroksidasi) dan evaluasi basa teroksidsasi seperti
8-OH-dG (indikator oksidasi DNA) digunakan sebagai biomarker stres oksidatif.
Tapi metode inipun banyak kelemahan, karena jumlah indikator tersebut dalam sel
relatif sedikit meski sel dalam kondisi stres oksidatif. Disamping itu, jika
pengambilan sampel dilakukan dengan cara yang tidak tepat bisa terjadi positif palsu.
Dapat
disimpulkan bahwa meskipun banyak parameter yang digunakan untuk mengukur
menilai stres oksidatif, semua memiliki kelemahan. Maka yang terbaik adlah
dengan menggunakan kombinasi dari beberapa metode tersebut karena tak ada satu
pun yang bisa dikatakan indicator terbaik.
Demikanlah sedikit ulasan tentang
konsep radikal bebas, antioksidan dan stres oksidatif. Moga dapat memberi pencerahan
dan motivasi bagi teman-teman yang ingin memulai penelitian di bidang tersebut.
Kritik, saran, dan komentar dari pembaca
sangat diharapkan. Terima kasih.
Sumber :
Powers SK and Jackson MJ. Exercise-Induced
Oxidative Stress: Cellular Mechanisms and Impact on Muscle Force Production. Physiol Rev 88: 1243–1276 tahun 2008