Minggu, 07 Oktober 2012

Home


RADIKAL BEBAS, ANTI OKSIDAN DAN STRES OKSIDATIF PADA SEL


By: Hartati Eko Wardani

Belakangan ini marak dibicarakan di media massa tentang bahaya radikal bebas terhadap kesehatan tubuh dan bagaimana substansi kimia yang bernama antioksidan digunakan untuk menangkal dampak negatif radikal bebas ini. Terkait dengan dunia olahraga, zat ini juga dianggap sebagai penyebab rusaknya sel-sel seperti otot dan jantung, jika tubuh terekspose oleh latihan yang berat.  Tingginya radikal bebas yang tidak diimbangi oleh peningkatan antioksidan akan menimbulkan stres pada sel yang disebut dengan stres oksidatif.

Tak hanya yang terpapar latihan berat, sel tubuh yang untrained pun tak lepas dari ancaman stres.
Beberapa fakta di lapangan yang bisa diamati, orang yang sama sekali tidak beraktivitas karena harus tirah baring atau dalam kondisi ekstrim mengalami paralisis /kelumpuhan, mempunyai ukuran otot yang  mengecil, atau mengalami atrofi otot. Fenomena apa yang terjadi secara mikroskopis pada sel otot itu? Mengapa otot yang tidak pernah digunakan untuk kontraksi mengecil dari segi ukuran dan massa? Ternyata, hasil penelitian membuktikan bahwa sel otot tersebut mengalami degenerasi protein otot dan kematian inti sel (nuclear apoptosis) yang disebabkan karena serangan radikal bebas! Jadi tidak pandang sel tersebut mendapat efek latihan atau justru sama sekali inaktif, sel tetap akan terekspose oleh radikal bebas, namun tentunya melalui jalur yang berbeda.  Lalu mana yang lebih baik untuk dilakukan, menjadi aktif atau inaktif?
Hal ini tentunya menarik untuk dijadikan bahan diskusi, namun sebelum melangkah kesana ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang konsep radikal bebas, anti oksidan dan stres oksidatif. Dan kali ini saya akan mencoba berbagi kepada mahasiswa, dosen, dan teman-teman lain sedikit dari apa yang saya ketahui tentang hal tersebut. Penulis mencoba mengambil intisari dari artikel review yang berjudul : Exercise-Induced Oxidative Stress: Cellular Mechanisms
and Impact on Muscle Force Production oleh Scott K. Powers dan Malcolm J. Jackson yang ditulis dalam jurnal  Physiol Rev 88: 1243–1276 tahun 2008, serta dari beberapa sumber pustaka lain.

Radikal bebas

Radikal bebas adalah suatu molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Karena elektron terluar tidak berpasangan maka molekul radikal bebas bersifat tidak stabil dan selalu berusaha untuk mencari pasangan dengan cara bereaksi dengan molekul lain di sekitarnya. Istilah radikal bebas kadang rancu dengan istilah ROS atau RNS. ROS atau reactive oxygen species adalah senyawa turunan oksigen yang bersifat reaktif, atau bisa bereaksi dengan molekul lain. Molekul ini bisa bersifat destruktif bisa pula berguna untuk berbagai proses metabolisme dalam tubuh seperti signaling cell. Identik dengan ROS, RNS juga merupakan senyawa yang reaktif namun berasal dari nitrogen. Kadang keduanya secara kolektif disingkat menjadi RONS (reactive oxygen-nitrogen species). RONS bisa terdiri dari radikal bebas bisa juga non radikal bebas dalam artian molekul ini tidak memiliki elektron yang tidak berpasangan, namun tetap reaktif karena berpotensi menghasilkan radikal bebas jika bereaksi dengan molekul lain. Berikut ini sedikit ulasan tentang macam RONS yang banyak diteliti.

  • Superoksida
-        Radikal bebas yang bersifat intermediate, bermuatan negatif, relatif impermeabel (tidak mudah menembus membran sel)
-        Akan berdismutasi menjadi hydrogen peroksida dan selanjutnya menjadi radikal hidroksil jika ada logam transisi
-        Penting untuk membunuh mikroorganisme yang masuk sel
-        Relatif kurang reaktif dibandingkan radikal lain
-        Bereaksi dengan NO dan protein yang mengandung besi dan sulfur
-        Dapat mereduksi cytochrome c dan oksidasi ascorbate

  • Hidrogen peroksida
-        Bukan jenis radikal bebas, relatif stabil, permeabel
-        Waktu paruh relatif lama, bersifat toksik karena bisa membentuk radikal hidroksil melalui reaksi Fenton atau Haber Weiss
-        Tidak bisa mengoksidasi DNA atau lipid, namun bisa menginaktivasi beberapa enzim

  • Radikal Hidroksil
-        Radikal kuat, impermeabel
-        The most damaging ROS!!`

  • Singlet Oksigen
-        Bukan radikal, bisa berasal dari proses dismutasi superoksida
-         waktu paruh sangat pendek, bisa berdifusi keluar membran

  • Nitric oxide (NO)
-        Berasal dari asam amino L-arginin, dengan perantaraan enzim Nitric Oxide Synthase (NOS)
-        Bereaksi cepat dengan superoksida membentuk peroksinitrit
-        Salah satu fungsinya adalah mengikat besi pada heme à iron removal/inactivation

  • Peroksinitrit
-        Merupakan hasil reaksi antara NO dengan superoksida. Reaksi ini berlangsung 3 kali lebih cepat daripada dismutase superoksida maupun reaksi NO dengan besi heme.
-        Damaging effect : DNA damage, nitrasi protein, deplesi thiol.

  • Hiperklorit
-        Dibentuk oleh aksi mieloperoksidase dengan hydrogen perosida dan Cl- sebagai substrat.
-        Dominan dibentuk di neutrofil, bisa merusak biomolekul dengan mengoksidasi thiol, lipid, ascorbat.

Sistem Pertahanan Antioksidan

Meskipun radikal bebas senantiasa diproduksi dalam keadaan normal, inaktif, maupun latihan, namun tubuh mempunyai sistem untuk menangkal efek negatif  yang ditimbulkan radikal bebas, yaitu Sistem Pertahanan Antioksidan.
Beberapa mekanisme Sistem Pertahanan Antioksidan dalam mengatur senyawa reaktif adalah :
1.     Mengubah senyawa reaktif menjadi bentuk yang kurang reaktif
2.     Mencegah senyawa reaktif menjadi senyawa yang lebih reaktif
3.     Mengurangi availability pro-oksidan seperti besi dan copper melalui protein pengikat logam
4.     Scavenging ROS
5.     Recycling antioksidan

Sistem Pertahanan Antioksidan terdiri atas dua macam, yaitu :
1.     Berbentuk enzim (enzymatic antioxidant)
a.      SUPEROKSIDA DISMUTASE (SOD) : mendismutasi superoksida menjadi hydrogen peroksida dan oksigen.
b.     Glutathione peroksidase (GPX) : mengkatalisa reduksi hydrogen peroksida atau hidroperoksida dengan menggunakan glutathione tereduksi (GSH) , menjadi air dan GSSH (glutathione disulfide). GSSG akan direduksi kembali menjadi GSH dengan bantuan glutathione reductase dan NADPH.
c.      Catalase (CAT) : mengkatalisa pemecahan hydrogen peroksida menjadi air dan oksigen
d.     Thioredoksin (TRX) dan thioredoksin reduktase : satu set antioxidant system. TRX berfungsi untuk menjaga protein-protein pada keadaan tereduksi. TRX yang teroksidasi akan diubah kembali menjadi TRX oleh thioredoksin reduktase
e.      Glutaredoksin (GRX): proteksi dan memperbaiki protein dan thiol non protein selama masa stres oksidatif.
f.       Peroksiredoksin (PRX) : mereduksi hidroksiperoksida dan peroksinitrat dengan menggunakan elektron yang dibawa oleh thiol fisiologis seperti TRX.

2.     Bukan enzim   (nonenzymatic antioxidant)
a.    GSH
Glutathione adalah suatu tripeptida, thiol non protein yang paling  banyak ditemukan di sel. Diproduksi terutama di liver dan ditranspor ke jaringan-jaringan melalui sirkulasi darah. GSH mampu bereaksi langsung dengan banyak macam radikal dengan mendonorkan atom hidrogennya. GSH juga mereduksi antioksidan lain, seperti vitamin E dan C, sehingga dapat memelihara vitamin tersebut dalam kondisi tereduksi .
b.     Alpha lipoic acid (α-lipoic acid): berperan dalam recycling vitamin C
c.      Asam urat : merupakan by-product dari metabolisme purin. Merupakan powerful scavenger untuk radikal peroksil, hidroksil, dan singlet oksigen. Asam urat juga dapat mendonorkan elektron pada molekul lain, juga chelating ion metal seperti besi dan tembaga, mencegah mereka membentuk radikal hidroksil melalui reaksi Fenton.
d.     Bilirubin : produk akhir dari katabolisme protein heme. Heme oksigenase memecah cincin heme utk membentuk biliverdin, biliverdin kemudian tereduksi oleh bilverdin reductase membentuk bilirubin.  Bilirubin punya potensi sebagai antioksidan kuat melawan radikal peroksil dan memproteksi sel dari kerusakan akibat hydrogen peroksida.
e.    Ubiquinone (coenzyme Q10)
Disintesis di sel, penting untuk transport elektron di mitokondria, terdapat di membran sel.  In vitro, ubiquinone berperan utk scavenging radikal RO2- dan mencegah lipid peroksidasi.
f.       Antioksidan dari Makanan
·       Vitamin E (α-tocopherol)
·       Vitamin C : scavenging radikal superoksida, hidroksil, dan lipid hidroksiperoksida; recycling vitamin E.
·       Karotenoid (beta karoten): terletak di membran jaringan, berperan dalam scavenging superoksida dan radikal peroksil, mencegah lipid peroksidasi.

STRES OKSIDATIF

            Stres oksidatif didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan “pro dan antioksidan” , dimana efek pro-oksidan lebih tinggi dari antioksidan. Beberapa parameter yang digunakan untuk mengukur stres oksidatif :
1.     Peningkatan pembentukan radikal atau oksidan lain
Ini sulit dilakukan mengingat waktu paruh radikal sangat singkat. Molekul eksogen seperti fluorescent probe atau spin traps sering digunakan, yang bisa bersifat toksik bagi sel. Ini bukan merupakan petanda definitif, karena peningkatan jumlah radikal/oksidan tidak selalu mencerminkan kondisi pro-oksidan.
2.     Penurunan jumlah antioksidan
Pemeriksaan ini sering digunakan sebagai biomarker stres oksidatif sel. Kelemahannya adalah banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi kondisi level antioksidan sel, seperti metabolisme selular dan diet. Disamping itu selama proses sampling bisa terjadi auto-oksidasi antioxidant sehingga jumlahnya menurun.
3.     Gangguan keseimbangan redox seluler
Yang paling banyak diukur adalah rasio GSH – GSSH . Jika jumlah oksidan meningkat rasio GSH-GSSH menurun. Pengukuran relatif simpel, namun bisa juga terjadi artefak yg disebabkan karena sample processing  atau autooksidasi.
4.     Kerusakan oksidatif pada komponen seluler
Pengukuran karbonil protein (indikator oksidasi protein), isoprostane, malondialdehida, 4-hidroksil 2-nonenol (indikator lipid peroksidasi) dan evaluasi basa teroksidsasi seperti 8-OH-dG (indikator oksidasi DNA) digunakan sebagai biomarker stres oksidatif. Tapi metode inipun banyak kelemahan, karena jumlah indikator tersebut dalam sel relatif sedikit meski sel dalam kondisi stres oksidatif. Disamping itu, jika pengambilan sampel dilakukan dengan cara yang tidak tepat bisa terjadi  positif palsu.

Dapat disimpulkan bahwa meskipun banyak parameter yang digunakan untuk mengukur menilai stres oksidatif, semua memiliki kelemahan. Maka yang terbaik adlah dengan menggunakan kombinasi dari beberapa metode tersebut karena tak ada satu pun yang bisa dikatakan indicator terbaik.

Demikanlah sedikit ulasan tentang konsep radikal bebas, antioksidan dan stres oksidatif. Moga dapat memberi pencerahan dan motivasi bagi teman-teman yang ingin memulai penelitian di bidang tersebut.  Kritik, saran, dan komentar dari pembaca sangat diharapkan. Terima kasih.

Sumber :  
Powers SK and Jackson MJ. Exercise-Induced Oxidative Stress: Cellular Mechanisms and Impact on Muscle Force Production Physiol Rev 88: 1243–1276 tahun 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar