Selasa, 09 Oktober 2012

POTRET DUNIA MEDIS dalam SINETRON INDONESIA

Hartati Eko Wardani

Sekitar setahun terakhir ini, saya mulai mengikuti perkembangan sinetron Indonesia, dan ini semua gara-gara anak saya. Dia mulai mengikuti sinetron demi sinetron Indonesia dari yang bergenre komedi, action, drama sampai horror. Alih-alih melarang anak saya nonton dan menyuruhnya untuk belajar, saya malah ikut hanyut mengikuti alur cerita yang tersaji. Sungguh bukan suatu contoh yang baik bagi orang tua lain. (Maaf, jangan ditiru.)

Beberapa sinetron yang saya tonton memang sarat dengan edukasi, namun lebih banyak yang hanya mengejar rating semata tanpa mempedulikan kualitas. Banyak kritik saya terhadap sinetron semacam itu, seperti alur cerita yang cenderung berputar-putar dan sengaja mengulur waktu untuk memperpanjang episode, banyaknya adegan KDRT seperti tampar menampar yang tentunya tak baik jadi tontonan buat anak, serta beberapa sinetron komedi masih belum berani tayang tanpa menampilkan sosok wanita seksi yang diharapkan bisa mendongkrak rating. Namun, bukan itu yang ingin saya soroti kali ini. Ada satu hal yang mengusik perhatian saya  saat mengamati beberapa sinetron Indonesia bergenre drama, ketika dilihat keterkaitannya dengan dunia saya, dunia medis.

Tulisan ini saya buat karena saya sudah merasa muak dengan banyaknya sinetron yang melecehkan profesi di bidang kedokteran. Saya memang sudah lama tak berkecimpung dalam dunia medis karena kesibukan saya di bidang lain, yaitu pendidikan. Namun saya yakin, apa yang tampak dalam sinetron Indonesia tersebut bukanlah merupakan cerminan dari dunia medis saat ini. Ya, sinetron Indonesia cenderung melecehkan kinerja dokter, perawat, pegawai lab, dan pegawai lain dalam rumah sakit.

Mari sejenak kita simak beberapa adegan yang sering diangkat dalam sinetron tersebut (Yang sering nonton sinetron boleh tersenyum-senyum sambil menebak, kira-kira sinetron apa saja yang menampilkan adegan berikut ini) :
  1. Banyaknya rumah sakit tanpa penjagaan ketat. Kurangnya penjagaan tersebut mengakibatkan orang asing dapat leluasa keluar masuk bangsal dan bahkan tak jarang menyamar sebagai dokter atau perawat tanpa ketahuan. Hal ini berdampak :
  • Bayi mudah ditukar-tukar (dan konyolnya hal ini baru terungkap bertahun-tahun kemudian)
  • Pasien bisa mati atau kolaps gara-gara diberi obat palsu oleh dokter/ perawat gadungan.
  • Selang infus atau oksigen pasien yang dirawat di kamar ICU (yang terlihat sangat sepi)  dapat dicabut oleh pengunjung sehingga menimbulkan perdarahan bahkan kematian pasien.
  • Data rekam medik yang tersimpan rapi di ruang arsip pun bisa dicuri oleh orang asing, saking sepinya penjagaan.
  • Sampel urin, darah, atau rambut dengan mudah bisa ditukar-tukar labelnya untuk mengacaukan hasil diagnosis.
  • Pasien bisa melarikan diri dari rumah sakit. Yang semacam ini mungkin sering terjadi di dunia nyata. Tapi melarikan diri dengan kursi roda tanpa ketahuan? Come on…
2. Pegawai laboratorium gampang disuap. Entah sudah berapa kali saya menemukan adegan pegawai lab yang bertugas mendiagnosis hasil tes DNA, kehamilan, dan lain-lain yang dengan mudahnya mengubah hasil lab atas permintaan seseorang, dengan iming-iming uang tentunya.

3. Kembar identik tak bisa dibedakan identitasnya. Identitas kembar identik seringkali dipertukarkan, tanpa disadari oleh orang lain termasuk orang tua maupun pasangan (suami/istri) masing-masing. Sekali lagi, dokter dibuat sibuk dengan tes DNA untuk membuktikan mana yang si A dan mana si B (yang sebenarnya tidak perlu. Bukankah meski kembar identik, keduanya pasti memiliki suatu ciri khas yang bisa dibedakan dengan mudah oleh orang terdekat?)

4. Orang yang sudah mati selalu bisa hidup kembali, terutama jika yang mati adalah pemeran utama atau pemeran pembantu.  Ada dua mekanisme bagaimana ini bisa terjadi, :
  • Pelakon mati dalam keadaan mengenaskan hingga tak dikenali lagi jasadnya, padahal itu jasad orang lain. Wajar saja bila suatu ketika dia bisa hidup kembali karena nyatanya dia memang belum mati. Please deh, memangnya sebelum dikubur tidak dipastikan dulu oleh dokter forensik, itu jasad siapa?
  • Pelakon benar-benar mati di meja operasi atau bahkan sudah dibacakan surat Yasin, tapi kemudian hidup kembali, karena dia memang cuma mati suri.
5. Pasien dengan amnesia retrograde temporer pasca trauma kepala berat, yang  “dibuat” tidak ingat segalanya, sama sekali tidak diperkenankan untuk mengingat-ingat kejadian di masa lalu, karena dikhawatirkan akan memicu terjadinya “severe headache”. Tentunya ini suatu strategi untuk memperpanjang episode, bukan? Namun, bukankah seharusnya pasien semacam ini memang perlu diberikan stimulasi untuk merangsang kembali fungsi saraf otaknya?

6. Psikiater seringkali tidak bisa membedakan mana pasien yang benar-benar sakit jiwa, mana yang cuma pura-pura gila, atau “dibuat gila sementara” karena pengaruh obat. Semuanya sama-sama masuk RSJ dengan diagnosis SAKIT JIWA.

7. Hanya karena riwayat hipertensi berat, seorang dokter menyarankan keluarga pasien untuk tetap membohongi pasien karena mengetahui realita yang ada akan sangat membahayakan jiwa pasien. Padahal ketika semua kebohongan terungkap pasien justru jatuh dalam kekecewaan mendalam dengan akibat yang jauh lebih parah daripada jika ia mengetahuinya sejak awal. Adakah rekan sejawat yang pernah memberi edukasi semacam ini pada keluarga pasien?

Maaf, mungkin analisis saya di atas juga tidak sepenuhnya benar, karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Untuk itu, sudilah rekan sejawat mengoreksi.

Ini masih sebagian dari banyak uneg-uneg saya seputar cermin dunia kedokteran dalam wajah sinetron Indonesia. Teman sejawat lain yang juga penikmat sinetron mungkin mampu menambahkan beberapa hal lain. Dapatkah hal-hal yang tersebut di atas terjadi di dunia nyata? Mungkin saja.

Akhirnya, sebuah saran untuk para penulis skenario. Jika ingin mengangkat tema yang tak jauh dari dunia kedokteran, mohon untuk mencari sesuatu yang kreatif dan inovatif. Masih banyak hal lain yang menarik dan belum diangkat. Berkonsultasilah dulu pada ahlinya agar tidak terjadi kekonyolan yang akan semakin melecehkan profesi kedokteran.

1 komentar: